"Rin, ada titipan buat kamu," Mira menunjukkan sebuah kado mungil berpita merah kepadaku. "Dari Rudi lagi? Loe aja yang buka Mir. Setelah itu tolong simpankan di tempat biasa." Kataku tanpa mengalihkan wajahku dari novel yang sedang kubaca.
"Rin! Belajaralah menghargai orang lain!" Nada Mira mulai meninggi.
"Mir, ngapain sih selalu maksa gue? Lagian gue juga engga pernah minta hadiah-hadiah itu! Jadi, mau buka atau enggak, itu hak gue dong! Kok elu yang rese?!"
"Rina, keterlaluan kamu!" bentak Mira seraya merebut novel dari tanganku. Napasnya turun naik menahan kemarahan. Aku tak peduli. Akupun kesal dengan sikapnya. Entah mengapa Mira selalu mmbela Rudi dan menyalahkan aku.
Mira dengar! Elu selalu maksa gue untuk bersama Rudi, loe selalu ngebelain dia. Kenapa enggak loe aja yang pacaran dengannya?!"
Mira tampak terkejut dengan dengan ucapan barusan. Dia diam sejenak. Aku tahu bila sudah begitu, biasanya Mira sudah mulai mengalah. Tapi ternyata kali ini aku salah. Dia menyahut dengan suara yang tidak kalah kerasnya.
"Oke Rina! Sekarang katakan paddaku! Apa yang kau inginkan sebenarnya? Apa! mengapa kau dulu terima cintanya! Kenapa kau beri dia harapan-harapan. Kau buat dia melayang dengan kata-kata manismu. Mengapa kini kau menyiksanya dengan kesetiaannya yang sepihak! Dimana perasaanmu?"
"Cukup Mira!"
"Apa yang cukup Rin, katakan?! Untuk apa kau mengingat dia, sedangkan kau sendiri terus mengejar Roy....!!"
Astaga Roy.... mendengar nama Roy, marahku jadi reda. "Mir, gue nggak sempat melayani loe. Gue ada janji dengan Roy. Bye...." Tanpa rasa bersalah aku melompt keluar kamar. Tak kuhiraukan Mira yang sedang marah. Masih sempat kudengar suara novel yang dilempar ke pintu. Aku tak peduli lagi. Dengan taxi aku menuju alun-alun, karena Roy berjanji akan menjemputku di sana.
"Rin, maafkan aku." Hati-hati sekali Mira mengatakan itu sepulangnya aku dari jalan-jalan dengan Roy.
"Aku yang salah Mir. Aku terlalu egois. Sekarang kalau kau marah padaku makilah aku, Mir," kataku sambil mengambil kado dari yang masih tergeletak di meja. Seperti biasa, tanpa membukanya aku menyimpannya dalam kotak di lemari yang paling bawah.
Disitu terdapat banyak kado-kado dan kartu-kartu ucapan selamat dari Rudi, karena pada tiap hari istimewa dia selalu memberikannya untukku. Padahal sampai saat ini aku belum penah memberikan apapun untuknya. Bahkan hari ultahnya pun aku enggak mau tahu. Entah mengapa aku dulu menerimanya.
"Rin, aku minta maaf karena selama ini aku terlalu banyak mencampuri urusan pribadimu. Sebenarnya tak perlu kutanyakan, karena aku tahu bahwa dulu kamu menerima Rudi karena desakandan permintaanku..."
Aku terdiam mendengar perkataan Mira yang lembut itu. "Mir, aku sudah mencintainya, tapi sulit bagiku. Kamu tahu mengapa selama ini aku malas membuka kado-kado darinya Itu karena aku merasa tersiksa dengan kesetiaan dan cintannya yang terlalu tulus. Dia sangat setia Mir, bahkan melebihi kesetiaan wanita India. Sedangkan kau tahu sifatku, saat ini aku menyukai permainan playboy seperti Roy misalnya." Aku selalu terbuka pada Mira. Dia adalah sahabat terbaikku.
"Kalau begitu mengapa tidak kau katakan hal yang sebenarnya pada Rudi? Bukankah itu lebih baik untuknya. Ehm... maksudku untuk kebaikan kalian berdua." Ucap Mira dengan mata berbinar. Ada sinar aneh di matany. Ternyata dia menyadari dan segera menundukkan wajahnya.
"Mir, boleh aku tahu mengapa kau begitu memperhatikan Rudi?" Tanyaku hati-hati. Namun itu sudah cukup untuk membuat Mira gugup.
"Rin, jujur aja, aku... pernah mencintainya!" Ting...!! Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku hingga kunci almari yang kupegang jatuh ke lantai. Mira segera menyambung ucapannya. "Tapi itu dulu, Rin. Sekarang rasa itu menjadi rasa sayang seorang sahabat. Dulu, kamu bertetangga. Rudi begitu baik padaku, namun aku salah mengetikan kebaikannya, bahkan sampai mencintainya, walau kutahu bahwa dia hanya menganggapku sebagai seorang sahabat. Lama-lama aku dapat juga merubah rasa cintaku menjadi sayang tulus seorang sahabat. Aku ingin melihatnya bahagia. Hanya itu Rin."
Aku tak dapat berkata-kata. Sulit bagiku mempercayainya. Melihatku hanya termangu Mira pun melanjutkan. "Hingga saat dia bilang padaku, dia menyukaimu. Tak ada keinginanku selain untuk menyatukan kalin. Ternyata aku salah. Tepukan yang hanya sebelah tangan tak mungkin dapat menimbulkan bunyi. Bahkan hanya menyiksa. Sebelum terlambat Rin, kumohon berilah kepastian yang jelas padanya." Aku hanya diam merenungi semuanya. Mira benar, aku harus membuat keputusan.
"Rudi ingin bertemu denganmu."
Aku terlonjak. "Suruhlah dia menunggu sebentar Mir," pintaku seraya menyisir rambutku. Entah mengapa hatiku berdebar-debar. Mengapa Rudi datang? Ada apa gerangan? Selama ini aku melarangnya sering-sering datang ke rumah.
Tadi malam Roy datang untuk memutuskan hubungan, karena dia sudah punya gadis lain. Setelah ditinggal Roy, aku baru menyadari bahwa Rudilah yang lebih baik dari semua yang kukerjakan selama ini. Kurasa ini bukan pelarian. Aku benar-benar sadar. Dan hari ini aku ingin minta maaf serta membuka lembaran baru bersama Rudi. Dan kebetulan siang ini dia datang.
"Hai Rudi, tumben kamu datang," sambutku dengan senyum ramah, Rudi pun membalas dengan senyum yang tak kalah manisnya. Oh my God. Aku benar-benar terpesona. Kupandangi dia, oh... betapa bodohnya yang telah mengabaikannya selama ini. Apa sih kurangnya? Mengapa baru ini aku menyadari bahwa tidak mudah menemukan orang seperti dia? Selain baik, dia juga lembut dan setia. Soal tampang, Rudi juga nggak kalah sama Roy.
"Rin, ada yang ingin aku bicarakan." Suara Rudi lembut.
"Tadi malam aku lewat sini, dan kulihat..."
"Rud... aku.." aku tercekik tak dapat meneruskan ucapanku. Tadi malam Roy datang. Walaupun kedatangannya untuk memutuskan hubungan, tetapi Rudi pasti menganggap kami sedang kencan.
"Rin, Roy adalah sahabatku," ucapan Rudi kali ini kurasakan bagai petir yang menyambar di siang bolong. Lidahku begitu kelu. Roy sahabat Rudi. Padahal aku sudah bercerita banyak pada Roy, tentang perasaanku pada Rudi selama ini.
"Dan semalam Roy menceritakan banyak hal padaku, Rin, mengapa kau lakukan semua ini padaku? Pernah aku menyakitkanmu? Mengapa Rin?" Rudi menatapku lekat-lekat. Ada kecewa disudut matanya. Aku hanya menunduk. Ingin merayunya, tapi aku tak bisa.
"Rud.... aku..." Sebelum kuteruskan, Rudi sudah memotong ucapanku. "Baru kutahu bahwa dulu kamu menerimaku karena terpaksa dan kasihan. Tapi aku tidak pernah memaksamu dan aku tidak mau dikasihani. Aku bukan pemgemis Rin!" Nada mulai meninggi.
"Rud, maafkan aku..." hanya itu yang mampu kuucapkan.
Akulah yang harus minta maaf Rin, aku telah membuatmu tersiksa selama ini. Aku tidak tahu bahwa selama ini kamu hanya bersandiwara. Bila kutahu melarangku datang tiap malam minggu, karena kau selalu ada acara dengan pujaan hatimu, karena kau ingin menghindriku, tentu aku takkan mengganggu hidupmu. Dan mengenai barang-barang pemberianku, kalau kamu tidak suka buang saja." Oh Tuhan bagaimana caraku untuk membujuknya?
"Rudi, dengarkan aku. Aku berjanji akan berusaha. Aku akan setia padamu dan tak...." lagi-lagi Rudi memotong pembicaraanku.
"Tak perlu Rin. Aku tak akan mengingatmu lagi. Hancur hatiku Rin Bukan karena pengkhianatanmu. Bukan. Kalau itu aku masih bisa memaafkan. Tapi ini lain Rin. Aku telah menyiksa batinmu selama ini. Itu yang membuatku hancur dan tidak dapat memaafkan diriku sendiri! Kamu tahu Rin, aku akan melakukan apa saja demi orang yang kucintai. Dan ternyata kau mengharapkan kepergianku. Walau dengan berat aku akan pergi. Selamat tinggal Rin." Rudi melangkah keluar.
Aku segera mengejar dan mencegahnya. "Rud, jangan pergi."
Dia behenti dan memegang pundakku. "Aku tak ingin melihatmu tersiksa Rin, mungkin aku salah telah mencintaimu. Dan kesalahan yang terbesar adalah mengapa aku menyatakannya padamu. Seharusnya aku menyimpannya sendiri agar tidak membebanimu. Maafkan aku..." Mata elang yang teduh itu menatap kosong.
Tapi Rud, cinta bukanlah dosa." Aku masih berusaha mencegahnya.
"Terima kasih Rin. Karena itulah aku terus mencintaimu walau kutahu kau bukan untukku." Setelah itu dia segara menyeberang jalan tanpa memperdulikan aku. Tiba-tiba aku merasa ada yang hilang.
"Bukan itu maksudku Rud!" Tanpa menoleh kanan kiri, kukejar dia yang sudah sampai di seberang. Ketika tiba-tiba ada sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menuju ke arahku, aku terpaku, tak sempat berbuat apa-apa. Kudengar teriakan histeris saat kurasakan tubuhku membentur sesuatu. Dan aku tak ingat apa-apa lagi.
Ketika sadar, aku sudah ada di kamar kostku. Mira duduk di dekatku dengan bersimbah air mata. "Mir, aku belum mati?" tanyaku bertubi-tubi. Dan dengan tersendat-sendat Mira menjawab. "Tenanglah Rin, kamu tak apa-apa. Kamu hanya terluka sedikit. Kata dokter kamu sangat terkejut sampai pingsan.
"Tapi kalau aku tak apa-apa, apa yang kau tangiskan? Bagaimana aku bisa selamat, Mir?" tanyaku masih tidak percaya. Rudi yang menolongmu. Saat ada mobil yang akan menabrakmu, dia segera meloncat dan menolongmu. Kamu terlempar ke trotoar. Sedangkan dia sendiri tertabrak mobil." Mira bercertia dengan terisak-isak.
"Rudi menolong aku?!" Aku terbelalak. Rudi yang telah kulukai masih mau menolongku. Ingat Rudi, aku jai cemas. Bagaimana kalau lukanya lebih parah dariku. "Mir, katakan dimana Rudi sekarang! Dia tidak apa-apa kan? Katakan Mir, bahwa lukanya lebih ringan dariku! Ayo temani aku menjenguknya di rumah sakit. Mir, aku janji akan selalu merawatnya, menyayanginya, aku ak..."
"Tenanglah Rin. Rudi nggak apa-apa. Baiklah sekarang kita berangkat."
Ucapan Mira yang agak tenang itu sedikit melegakanku. Biarlah nanti di rumah sakit akan kukatakan pada Rudi bahwa aku sudah berubah. Akan kuberi perhatian, kasih sayang dan cintaku untuknya. Ya... tiba-tiba saja dia menjadi sangat berarti bagiku.
Mira membimbingku naik taxi. Mengapa hatiku berdebar-debar? Maukah Rudi memaafkanku nanti? selama perjalanan kami hanya membisu. Ketika taxi berhenti, baru kusadari bahwa kami tidak ke rumah sakit, tapi itu.... kuburan.
"Mir!" aku sangat terkejut. Mira segera memelukku. "Rin, Rudi.... sudah tiada." Mira menuntutku keluar dari taxi.
"Tidak...!!" Aku berteriak sekuat-kuatnya. Tak berdaya tubuhku jatuh terduduk di atas gundukan tanah yang masih merah itu. Bunga-bunga menutupi permukaannya. Serasa tidak percaya kubaca batu nisan. Ada nama Rudi di sana. Air mataku ikut menghiasi peraduan terakhirnya.
"Rud... jangan tinggalkan aku..." ratapku di batu nisannya. "Sudahlah Rin, biarkan dia tenang di sana..." Mira mencoba menghiburku. Tapi hal itu malah membuatku sedih.
Mengapa... harus Rudi yang pergi. Mengapa dia menolongku. Mengapa tidak dibiarkannya aku yang mati? Di saat terlupakan ddia rela brkorban untukku. Orang macam apa aku ini? mengapa baru kini aku sadar! Oh Rudi maafkan aku. Betapa kejamnya aku yang telah menyia-nyiakan tulusnya cinta kasihmu. Terbayang dimataku kelembutanmu, kebaikanmu, cintamu, dan juga kecewa dimatamu.
Kini hanya sesal yang menyibak di dadaku. Andai waktu bisa kembali, ingin aku menyayangimu di dadaku. Andai waktu bisa kembali, ingi aku menyayangimu. Tapi kini semua telah nyata. Kau berbaring di bawah rumpun kamboja dan kambing. an akulah penyebab semuannya. Sulit bagiku untuk memaafkan diriku sendiri. (*)